Translate

Sabtu, 20 April 2019

KISAH RADEN AJENG KARTINI

Presiden Soekarno mengeluarkan Kepres RI No. 198 Tahun 1964 yang menetapkan bahwa Raden Ajeng Kartini adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional, ketetapan itu dikeluarkan pada 2 Mei 1964.

RA Kartini – Siapa yang tidak kenal Biografi RA Kartini, salah satu pahlawan wanita Indonesia yang rela berjuang demi rakyat saat masa penjajahan. Beliau dikenang sebagai wanita terdidik yang memperjuangkan emansipasi wanita Indonesia. Biografi RA Kartini sendiri sangatlah patut untuk dikenang. Mulai dari beliau kecil hingga wafat.
Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau yang lebih dikenal dengan nama RA Kartini memiliki harapan atas kesamaan gender pada waktu itu. Karena dahulu, wanita tidak dihargai sehingga tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Dimana wanita hanya ditugaskan untuk mengurus suami, anak dan memasak di rumah.
Dengan kegigihannya, RA Kartini berjuang agar wanita tidak ditindas dan bisa sejajar dengan pria. Untuk mengenang jasa beliau, berikut biografi RA Kartini yang dapat kita teladani.

Kelahiran RA Kartini


Biografi RA Kartini tentunya dimulai dari kelahiran beliau. RA Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di kota Jepara. Dimana hari lahir inilah yang diperingati oleh masyarakat Indonesia sebagai hari Kartini. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati jasa beliau karena dengan gigih 

Keluarga RA Kartini

Biografi RA Kartini selanjutnya membahas keluarga beliau. Kartini merupakan putri pertama dari istri pertama Raden Adipati Ario Sosroningrat. Ayahnya merupakan putra Pangeran Arion Tjondronegoro IV. Sedangkan ibunya bukanlah istri utama dari sang Ayah meskipun posisinya sebagai istri pertama.
Ibunya bernama MA Ngasirah yang merupakan anak dari seorang Kiyai di Telukawur, Surabaya. MA Ngasirah bukanlah seorang putri keturunan bangsawan. Sedangkan pada masa kolonial Belanda, terdapat peraturan bahwa seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan.melindungi rakyat Indonesia.
Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan Jawa. Sehingga beliau mendapat gelar RA yang artinya Raden Ajeng. Kemudian setelah menikah, gelar berubah menjadi Raden Ayu.
Akhirnya ayah Kartini menikahi Raden Adjeng Woerjan yang merupakan bangsawan dari Raja Madura. Setelah pernikahannya inilah, kemudian ayah Kartini diangkat menjadi bupati Jepara tepat setelah Kartini dilahirkan.

Kehidupan RA Kartini

Kakek Kartini merupakan bupati pertama yang memberikan pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kartini sendiri merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara baik kandung maupun tiri. Sedangkan dari saudara sekandungnya, Kartini merupakan putri tertua.
Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School) hingga usia 12 tahun. Beliau belajar bahasa Belanda.
Akan tetapi, di umur 15 tahun beliau harus tinggal di rumah karena sudah dapat dipingit. Dengan kepandaiannya dalam berbahasa Belanda, beliau mulai belajar menulis surat kepada teman-teman korespondensi dari Belanda. Salah satu teman yang mendukung Kartini adalah Rosa Abendanon.
Dimulai dari belajar menulis dan sharing dengan teman-teman Belanda inilah Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa. Beliau mempelajari hal ini melalui surat kabar, majalah hingga buku-buku. Kemudian beliau mulai berusaha untuk memajukan perempuan Indonesia yang masih memiliki status sosial rendah saat itu.
Banyak buku dan majalah dari kebudayaan Eropa yang dia baca. Bahkan di usia 20 tahun, beliau sudah membaca karya-karya yang berbahasa Belanda. Sehingga beliau punya pengetahuan yang luas tentang ilmu pengetahuan serta kebudayaan.
Selanjutnya, Kartini mulai memperhatikan masalah emansipasi wanita dengan membandingkan wanita Eropa dengan wanita Indonesia. Dan baginya seorang wanita harus memperoleh persamaan, kebebasan dan otonomi serta kesetaraan hukum.

Pernikahan Hingga Wafatnya RA Kartini


KEHIDUPAN PERNIKAHAN R.A KARTINI

Kartini adalah istri Bupati Rembang, Djojoadhiningrat, yang meninggal dunia pada 17 September 1904, beberapa hari setelah melahirkan anak tunggalnya. Ketika perempuan muda yang baru berumur 25 tahun itu dimakamkan di pekarangan pasanggrahan suaminya di Bulu--tak jauh di luar kota kecil Rembang--mungkin tidak ada orang yang mengira bahwa ia akan berpengaruh banyak pada perkembangan perjuangan untuk memajukan perempuan dalam masyarakat Indonesia.
Pemikiran-pemikiran almarhumah terekam dalam beberapa surat yang ditulisnya kepada para sahabat Belanda-nya. Pada waktu itu surat-surat Kartini belum diketahui oleh orang banyak, selain oleh para sahabat yang menerima surat-suratnya serta lingkungan kecil keluarganya.
Menurut sejarawan Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja (1997), surat-surat Kartini pertama kali diterbitkan pada 1911 di Semarang, Surabaya, dan Den Haag atas prakarsa Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, Mr. J.H. Abendanon.
Kumpulan surat-surat itu diberi judul Door Duisternis tot Licht(DDTL): Gedachten Over en Voor Het Javaansche Volk van Raden Ajeng Kartini, dan diterbitkan oleh G.C.T. van Dorp & Co. Karena diterbitkan dalam bahasa Belanda, hanya kalangan priyayi dan orang Belanda yang membacanya.
Seiring dengan tumbuhnya industri penerbitan, Balai Pustaka mengambil inisiatif untuk menerbitkan ke dalam bahasa Melayu. Berkembang majunya pergerakan perempuan sekitar 1920-an, turut menentukan tiras penjualan DDTL, yang melonjak tinggi.
Dalam bahasa Melayu, DDTL diterjemahkan oleh Armijn Pane menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Terbitan yang kedua ini lebih tipis dari yang pertama, karena Armijn Pane melakukan banyak pemotongan terhadap pikiran-pikiran Kartini yang dinyatakan berulang-ulang dalam beberapa surat (Soebadio & Sadli, Kartini: Pribadi Mandiri, 1990).
POLIGAMI 
Poligami, yang mungkinkan seorang laki-laki secara sah dapat memiliki istri lebih dari seorang, merupakan salah satu hasil penilaian tertentu ihwal hubungan antara kaum lelaki dan perempuan, khususnya dalam lembaga pernikahan. Dalam lingkungan kehidupan bangsawan Jawa, tempat Kartini hidup, praktik poligami merupakan hal yang biasa.
Kebiasaan dan adat-istiadat yang hidup di kalangan masyarakat -khususnya di kalangan priyayi Jawa yang berkedudukan tinggi- memang menempatkan kedudukan perempuan tidak sama dengan kaum laki-laki. Perempuan tidak sepantasnya mengerjakan hal-hal yang dikerjakan oleh lelaki. Kedudukan yang dianggap cocok untuk perempuan adalah sebagai pemelihara kehidupan rumah tangga.
Seorang lelaki Jawa dididik secara terpisah dan memiliki kesempatan yang jauh lebih besar dan lebih bebas. Dalam rangka itu, maka seorang lelaki Jawa melihat seorang perempuan Jawa tidak bisa lebih daripada melihatnya dalam hubungan sebuah keluarga, atau keluarga-keluarga dengan seorang lelaki sebagai kepalanya; tepatnya dalam hubungan perkawinan.
Perempuan hanya berharga apabila ia dihubungkan dengan dunia perkawinan. Dan perkawinan itu sendiri sering kali merupakan puncak kesengsaraan kaum perempuan, karena meskipun menjadi istri sah dari suaminya, ia bukan satu-satunya istri, melainkan salah satu istri di samping istri-istri yang lain.
Kartini menorehkan kenyataan yang timpang dan tidak adil ini dengan kegeraman.

... saya akan menyinggung kaum lelaki dalam sifat mereka yang selalu mementingkan diri sendiri, egoistis. Celakalah mereka itu, ... yang menganggap egoisme lelaki semacam ini sebagai sesuatu yang sah dan adil!

Perempuan yang lahir pada 21 April 1879 ini mengemukakan persoalan poligami sebagai pemberontakan. Ia mengetahui bahwa adat-istiadat semacam ini, apabila diberi toleransi, akan memperanakkan jenis ketidakadilan yang lain, seperti kawin paksa, berbagai batasan yang amat menyakitkan hati tentang hak perceraian, perkawinan anak-anak perempuan di bawah umur, dan penghormatan martabat seorang perempuan dalam keluarga dan masyarakat.
Kartini tidak membesar-besarkan soal poligami ini, ia tidak berkhayal. Ia sendiri, dalam keluarganya, mengalami kepedihan yang diakibatkan oleh musuh besarnya yang utama itu.
Ibu kandung Kartini bukan raden ayu. Sekalipun ia istri sah dari Bupati Sostroningrat, ibu kandung Kartini itu tidak berhak tinggal di rumah utama Kabupaten.
Ngasirah melahirkan delapan orang anak, lima di antaranya lelaki. Ia mempunyai tiga orang anak perempuan. Sekalipun Kartini tidak pernah mengungkapkan secara terbuka penderitaan yang dialami ibu kandungnya, dapat dibayangkan betapa perasaannya melihat keanehan kehidupan di Kabupaten.
Ngasirah tetap dalam martabatnya selaku perempuan, tetap harus merangkak-rangkak dan menunduk-nunduk karena ia adalah anak dari kalangan jelata. Sedangkan anak-anaknya, karena mereka merupakan benih dari seorang bangsawan, dihormati selaku para bangsawan. Oleh karena itu, Ngasirah tidak dianggap sebagai seorang ibu, melainkan sebagai seorang pembantu atau sekadar seseorang yang telah melahirkan.
Kartini dengan lirih menulis, "... saya telah melihat neraka dari jarak dekat-malahan saya berada di dalamnya-... Saya telah menyaksikan penderitaan, dan merasakan sendiri kesengsaraan ibu saya sendiri ... karena saya adalah anaknya."
Pengalaman lain tentang poligami terjadi pada adiknya sendiri, Kardinah. Kardinah menikah dengan patih dari Pemalang, yang sudah beristri dan mempunyai enam orang anak. Perkawinan ini dilakukan karena paksaan kedua orang tuanya. Kartini sendiri dengan semangat menyala-nyala menuliskan pendapatnya perihal perkawinan dan poligami.
Dalam salah satu suratnya kepada seorang sahabat, Stella, ia menulis: "Saya tidak akan, sekali-kali tidak akan jatuh cinta. Karena mencintai seseorang, menurut hemat saya, pertama-tama harus ada rasa hormat. Dan saya tidak bisa menghormati seorang pemuda Jawa. Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah, yang apabila sudah bosan kepada istri dan anak-anaknya, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya secara sah ..."
Kepada kawan penanya yang lain, Nyonya Abendanon-Mandri, Kartini juga melancarkan serangannya yang sengit ke arah poligami, dengan menyuarakan protes:

Bukankah hal ihwal itu merupakan perkosaan terhadap kodrat alam, apabila perempuan harus tinggal secara damai dengan madunya? Sesungguhnyalah, anak bangsa itu sendiri, kaum perempuan harus memperdengarkan suaranya. Masih akan adakah orang dengan tenang mengatakan bahwa "keadaan mereka baik-baik saja", kalau mereka melihat dan mengetahui semuanya yang telah kami lihat dan ketahui sendiri? Saya pernah mengutip sesuatu dari pidato Prof. Max Muller, seorang ahli bahasa-bahasa timur yang ulung dari Jerman, yang juga ahli sejarah dan lain-lain. Bunyinya kurang lebih: Poligami seperti yang dijalankan bangsa-bangsa Timur adalah suatu kebijakan bagi kaum perempuan dan gadis-gadis, yang di dalam negerinya tidak dapat hidup tanpa suami atau pelindung. Marx Muller sudah memperlihatkan kebajikan adat itu kepadanya. Orang berusaha membohongi kami, bahwa tidak kawin itu bukan hanya aib, melainkan juga dosa yang besar ...

Perlawanan Kartini terhadap praktik poligami di kalangan bangsawan Jawa pada akhirnya membawa ia pada kesadaran, bahwa ia sendiri sudah selalu hidup dalam bayang-bayang musuh besar yang dilawannya. Kartini sadar, bahwa ia sedang berhadapan dengan lawan yang amat bengis dan kuat, yang didukung adat-istiadat, bahkan juga dibenarkan oleh ajaran-ajaran agama yang ada pada masa itu. Sudah sewajarnya apabila Kartini juga merasa waswas dan takut:

Saya putus asa dengan rasa pedih-perih saya puntir-puntir tangan saya jadi satu. Sebagai manusia, saya merasa seorang diri tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu, dan yang-aduh, alangkah kejamnya! Dilindungi oleh ajaran Islam dan dihidupi oleh kebodohan perempuan: korbannya! Aduh! Saya pikir mungkin pada suatu ketika nasib menimpakan kepada saya suatu siksaan yang kejam, yang bernama poligami itu! "Saya tidak mau!" mulutku menjerit, hatiku menggema jeritan itu ribuan kali ...

Dugaan Kartini tak luput. Tiga tahun kemudian ia harus menikah dengan seseorang yang bukan pilihannya sendiri. Lagi pula laki-laki itu sudah memiliki tiga istri dan tujuh orang anak. Anak yang tertua hanya berbeda delapan tahun dengan Kartini.
Pernikahan dengan bupati Rembang, Djojoadhiningrat, tidak dapat dielakkan, dan itu berlangsung pada 8 November 1903. Mengenai pertunangan nya, Kartini merasakan itu sebagai kehinaan yang memalukan. Mahkota di kepalanya telah direnggut dan jatuh berantakan di pasir. Kebanggaan dan kebesaran dirinya telah sirna.
Kartini merasa bahwa dirinya kini hanyalah salah seorang dari ribuan korban perempuan Jawa yang hendak ditolongnya. Malah ia telah menambahkan jumlah bilangan korban itu. Perlawanan Kartini menemui jalan buntu, bahkan menelan korban baru: dirinya sendiri.
Rintihan Kartini yang bernada tragis disuratkan juga kepada Nyonya Abendanon, kurang lebih sebulan sebelum hari pernikahan. Ia merasa telah mati dengan sia-sia. Secara fisik, moral telah patah, tak mempunyai kekuatan apa-apa lagi.
Ia merasa gagal dalam perjuangannya, tidak suatu pun hasil yang dicapainya. Semuanya, segala cita-cita, telah runtuh oleh egoisme orang lain. Sayap-sayapnya telah putus, hatinya pecah berkeping-keping.
Kartini harus mengangkat sendiri beban penderitaan itu, dan ia merasa tidak mampu menanggungnya. Terlalu berat.
Pasca pernikahan, ia segera dibawa ke Rembang, dan menjadi raden ayu di Kabupaten. Kartini tidak memberontak lagi, tak menjerit, kegelisahan nya terhadap nasib perempuan Jawa. Surat-surat yang ditulisnya dari Rembang bukan lagi surat-surat protes tentang kedudukan perempuan, dan bukan perihal poligami.
Nampaknya ia berusaha berdamai dengan keadaannya yang anyar. Tanpa protes.
Kartini memang tidak berhak lagi mengeluhkan keputusan yang telah diambilnya-meskipun dengan berat terpaksa, surat-surat Kartini pada periode Rembang adalah surat-surat yang menyatakan "kebahagiaan"-nya di tengah suami, ketiga istri selir, dan tujuh orang anak-anaknya. Akan tetapi, hal ihwal itu juga tidak berlangsung lama. "Kebahagiaan" itu dengan sendirinya fana, ketika ia mati muda saat melahirkan.
Arkian, kisah hidup Kartini bukan hanya riwayat anak perempuan putri bupati Jepara pada pergantian abad ke-19 dan ke-20, melainkan juga riwayat seorang intelektual yang mewakili sebuah perubahan zaman. Di sanalah letak seluruh makna kehidupan Kartini. Pergulatan batinnya mencerminkan pergumulan sebuah bangsa. Ia memang kalah, tetapi bukan tanpa perlawanan.
Menurut Th. Sumartana dalam Tuhan & Agama dalam Pergulatan Batin Kartini(2013), kekalahan Kartini adalah satu episode yang harus diakui dengan jujur dan terbuka. Kekalahan itu juga merupakan bagian integral sejarah bangsa Indonesia.
Sejarah tidak ditulis dengan maksud menipu. Sejarah bukan dongeng yang berupa ilusi untuk melayani naluri megalomania atau narsisme. Di situlah justru terletak hikmah sebuah paradoks dalam sejarah.
Kekalahan Kartini bisa bermakna bahwa sejarah bangsa kita benar-benar merupakan sejarah manusia yang mengenal kemenangan dan kekalahan, silih berganti. Dan barangkali, justru karena itulah Kartini bisa menjadi sumber ilham yang mengabadi bagi khalayak.


Suami Kartini memberikan pengertian mengenai keinginan Kartini. Bahkan beliau membebaskan serta mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang perkantoran Rembang. Yang kini menjadi gedung pramuka.
Dari pernikahannya ini, RA Kartini dikaruniai seorang putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada tanggal 13 September 1904. Namun empat hari setelah melahirkan, yaitu usia 25 tahun, Kartini meninggal. Beliau dimakamkan di Desa Bulu, Rembang.
Setelah Kartini wafat, Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia-Belanda yaitu Mr. J. H. Abendanon mengumpulkan surat-surat yang dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Setelah dikumpulkan, surat-surat ini kemudian dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Licht yang berarti Habis Gelap Terbitlah Terang.
Dengan terbitnya surat – surat Kartini ini menarik perhatian masyarakat Belanda. Pemikiran Kartini merubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan Jawa. Tidak hanya itu, beliau juga menjadi inspirasi bagi tokoh kebangkitan nasional Indonesia. hingga dibuatkannya lagu Ibu Kita Kartini oleh W.R Soepratman.

5 Teladan Dari RA Kartini


1. Sederhana

Raden Mas Adipati Sosroningrat selaku ayah RA Kartini merupakan bupati Jepara saat itu. Meskipun berasal dari kalangan bangsawan, namun RA Kartini tidak berpangku tangan dan diam saja di rumah. Beliau bergaul dan berteman dengan siapapun, sehingga beliau dikenal sebagai perempuan yang merakyat.
RA Kartini juga sangat menolak keras perilaku para bangsawan lain, yang mana mereka menggunakan derajat dan status untuk menindas kaum di bawahnya. Hal inilah yang membuat beliau sangat disenangi oleh rakyat.
RA Kartini memiliki sifat kesederhanan yang patut diacungi jempol. Beliau tidak pernah berfoya-foya maupun bermewah-mewahan. Bahkan ketika menikah, beliau tidak mengenakan baju mewah pernikahan dan tidak menggelar pesta.

2. Berani Dan Optimis

Pada zaman dahulu, RA Kartini pernah ditentang oleh masyarakat sekitar karena memiliki pandangan yang berbeda mengenai perempuan. Kartini menganggap bahwa perempuan harus keluar rumah, belajar dan mengejar cita – cita. Bukan hanya berada di dalam rumah sehingga menutup kesempatan bagi perempuan untuk melihat dunia. Atau yang disebut dengan budaya pingit.
Hal itu membuat beliau berani membuka sebuah tempat belajar khusus untuk mendidik perempuan dan anak-anak. Tidak hanya itu, beliau sangat optimis bahwa tindakannya akan memberikan dampak yang besar di masa depan

Dan terbukti hingga kini, bahwa beliau masih selalu dikenang dengan karya-karya terbaik yang pernah diberikan untuk Indonesia khususnya perempuan Indonesia.

3. Mandiri / Independen

Teladan RA Kartini yang bisa kita tiru adalah sifat mandiri beliau. Beliau dapat mencari cara agar beliau bisa berpengaruh bagi sekitarnya. Padahal saat itu beliau masih dalam keadaan dipingit.
Meskipun tidak disekolahkan tinggi-tinggi, beliau tetap belajar dengan caranya sendiri. Yaitu dengan menulis surat kepada para sahabat penanya. Serta belajar pengalaman dari para sahabatnya. Alhasil, beliau dapat membangun sekolah Perempuan Pertama di Jawa.

4. Cerdas Dan Berwawasan Luas

Sejak berkirim surat dengan sahabat penanya yang berada di luar negeri, wawasannya menjadi terbuka. Beliau semakin berfikir bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki – laki. Baik dalam hal pendidikan, bekerja hingga berpendapat.
Tidak hanya belajar melalui teman penanya, beliau juga belajar dari semua hal yang dialaminya. Kemudian dengan jiwa pendidik nya itu lah beliau mengajarkan kepada anak-anak didiknya. Mulai dari baca tulis, memasak, melukis, menjahit dan masih banyak lagi. Semua beliau tularkan kepada anak-anak dan perempuan Indonesia.

5. Inspiratif

Semua yang dilakukan oleh RA Kartini menunjukkan keihklasan dan kesungguhan. Siapa yang akan menyangka jika tindakan yang dilakukannya di masa lalu akan dapat menginspirasi kita hingga kini.
Beliau menularkan pandangan baru kepada orang sekitarnya sehingga mampu membuat orang lain melakukan sesuatu. Semua hal positif yang dilakukannya sangat berdampak baik kepada kita sekarang.
Nah, itulah biografi RA Kartini secara lengkap beserta teladan-teladan yang bisa kita ikuti. Semoga dengan mengetahui biografi RA Kartini, kita menjadi generasi penerus yang memiliki sifat-sifat RA Kartini.
Sampai saat ini kita tahu bahwa jasa RA Kartini sangatlah besar bagi Bangsa ini. Kalau RA Kartini pada jaman itu saja bisa memberikan sesuatu yang besar bagi Bangsa, apalagi kita yang hidup dengan berbagai kemudahan serta teknologi canggih. Seharusnya kita juga mampu memberikan sesuatu yang besar bagi Bangsa ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar