Translate

Minggu, 21 April 2019

WANITA KARIR DALAM PANDANGAN ISLAM

Mengapa saya lebih interest pada islam karena islam adalah agama mayoritas di indonesia.

Wanita Karir dalam Pandangan Islam


Kebutuhan hidup dewasa ini yang semakin tinggi memaksa para wanita untuk bekerja dan meninggalkan rumah demi membantu suami dalam memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarga. Seiring perkembangan zaman, saat ini masyarakat menilai bahwa pekerjaan wanita tidak hanya membantu suaminya mengurus rumah tangga saja akan tetapi mereka bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya dan bekerja untuk mengaktualisasi ketrampilan dan pendidikannya. Islam sendiri sebagai agama yang adil telah menetapkan hak yang hilang dari wanita sebelum kedatangan islam dan setelahnya . Islam menjamin bahwa wanita berhak memiliki harta dan kepemilikannya atas harta tersebut diakui secara penuh termasuk dalam hal harta warisan ,sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat berikut ini

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (QS An-Nisa : 7)


Wanita yang bekerja diluar rumah dikenal dengan sebutan wanita karir. Lalu bagaimanakah pandangan islam terhadap wanita karir? Simak penjelasan berikut ini mengenai wanita karir dalam pandangan islam :

Hukum Wanita Karir Dalam Islam

Menurut hukum Islam, wanita berhak memiliki harta dan membelanjakan, menggunakan, menyewakan menjual atau menggadaikan atau menyewakan hartanya. Mengenai hak wanita karir atau wanita yang bekerja diluar rumah, harus ditegaskan sebelumnya bahwa Islam memandang wanita karena peran dan tugasnya dalam masyarakat sebagai ibu dan istri sebagai peran yang mulia.
Tidak ada pembantu atau asisten rumah tangga yang dapat merawat anak dan menggantikan ibunya dalam tugas mendidik dan membesarkan nya. Adapun seorang wanita juga memiliki kewajiban pada suaminya untuk mengurus dirinya, rumah tangga dan anak-anak. Islam juga menganjurkan wanita untuk tetap tinggal dalam rumah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut ini :
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusunan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf”. (Q.s. Al-Baqarah [2]: 233)
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguh nya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahl al-bayt, dan mem bersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Q.s. al-Ahzâb [33]: 33
Namun demikian, tidak ada satupun petunjuk maupun ketetapan dalam agama Islam yang menyatakan bahwa wanita dilarang bekerja diluar rumah khususnya jika pekerjaan tersebut membutuhkan peran dan penanganan wanita. Misalnya perawat, pengajar anak-anak dan dalam hal pengobatan.

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An-Nisaa [4] : 32)

Alasan yang Memperbolehkan Wanita Karir

Adapun ulama fiqih menyatakan ada dua alasan dimana seorang wanita diperbolehkan untuk bekerja diluar rumah dan mencari nafkah, apabila berdasarkan pada alasan berikut
  1. Rumah tangga memerlukan banyak biaya untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk menjalankan fungsi keluarga sementara penghasilan suami belum begitu memadai, suami sakit atau meninggal sehingga ia berkewajiban mencari nafkah bagi dirinya sendiri maupun anak-anaknya.
  2. Masyarakat memerlukan bantuan dan peran wanita untuk melaksanakan tugas tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh seorang wanita seperti perawat, dokter, guru dan pekerjaan lain yang sesuai dengan kodrat wanita.
Dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW sendiri tidak melarang wanita untuk melakukan pekerjaan di luar rumah :

Dari Mu‘âdh ibn Sa‘ad diceritakan bahwa budak perempuan Ka‘ab ibn Mâlik sedang menggembala kambingnya di Bukit Sala’, lalu ada seekor kambing yang sekarat. Dia sempat mengetahuinya dan menyembelihnya dengan batu. Perbuatannya itu ditanyakan kepada Rasulullah Saw. Beliau menjawab, “Makan saja!” (H.r. al-Bukhârî)

Syarat Wanita Bekerja Di Luar Rumah

Seorang wanita dapat meninggalkan rumahnya untuk bekerja apabila ia memenuhi syarat-syarat berikut ini :
1. Menutup auratnya dengan hijab
Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut ini wanita memiliki kewajiban untuk menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.
“Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram) dan memelihara kehormatan mereka dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka, kecuali yang zahir daripada nya. Dan hendaklah mereka menutup belahan baju mereka dengan tudung kepala mereka “.(al-Nur(24):31)
2. Menghindari Campur baur dengan pria
Adapun jika seorang wanita bekerja diluar rumah, ia disarankan untuk menghindari tempat dimana pria dan wanita berbaur. Hal ini bertujuan untuk menjaga wanita dari fitnah. Wanita yang bekerja di luar rumah rentan mengalami godaan dan dapat menyebabkan .
3. Mendapat izin dari orangtua, wali atau suami bagi wanita yang telah menikah
Seorang wanita boleh bekerja atas hanya atas izin orangtua dan suaminya sebagaimana yang tercantum dalam ayat berikut ini
Syarat tersebut berdasarkan firman Allah, di dalam surah al-Nisa’ (4):34 yang berbunyi
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka beri nasehat mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukul mereka. Kemudian jika mereka patuh, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan nya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”
4. Tetap menjalankan kewajibannya di rumah
Menjadi wanita karir memang tidak dilarang akan tetapi ia tidak boleh melalaikan melalaikan tugasnya sebagai seorang isteri atau ibu untuk mengurus rumah tangga atau keluarganya serta mendidik anak-anaknya . Wanita selayaknya memberikan perhatian dan waktu yang cukup pada keluarganya meskipun ia bekerja diluar rumah.
5. Pekerjaannya tidak menjadi pemimpin bagi kaum lelaki.
Ulama Abd al-Rabb menjelaskan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin tertinggi dalam suatu kaum seperti halnya menjadi pemimpin negara atau masyarakat sesuai hakikat bahwa pria semestinya memimpin wanita dan bukan sebaliknya.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) telah me nafkah kan sebagian dari harta mereka”. (An Nisa ;34)

Dampak Wanita Karir Bagi Keluarganya
Masuknya wanita ke dalam dunia kerja dan meniti karir memang membawa dampak positif terhadap perkembangan ekonomi keluarga dan pemenuhan kebutuhan serta terbantu nya masyarakat dengan peran serta wanita. Akan tetapi wanita karir yang terlalu sibuk mengejar karir nya dikhawatirkan akan menunda jodoh  dan pernikahannya .
Selain itu wanita karir juga rentan mengalami masalah dalam keluarga dikarenakan sedikitnya waktu yang ia luangkan bersama keluarganya.Seorang ibu yang terlalu larut di dalam pekerjaannya terkadang melupakan perannya dan membuat anak kurang mendapat perhatian sehingga banyak kasus anak yang terlibat perbuatan kriminal dan terjerumus narkoba.

ASPEK RELIGI R.A. KARTINI

Salah satu murid Mbah Kyai Sholeh Darat yang terkenal, tetapi bukan dari kalangan ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Mbah Sholeh Darat menjadi pelopor penerjemahan Al-Qur’an ke Bahasa Jawa. Menurut catatan cucu Kyai Sholeh Darat (Hj. Fadhilah Sholeh), RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngaji nya memarahi karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Qur’an.
Biografi
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah HARUS dipingit ( DI pisahkan dengan lawan jenis )
Surat Curahan hati
Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;
Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.
Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.
Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.
Bertemu Kyai Sholeh Darat
Kalau membaca surat surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda, terkesan Raden Ajeng Kartini sudah jadi sekuler dan penganut feminisme. Namun kisah berikut ini semoga bisa memberi informasi baru mengenai apresiasi Kartini pada Islam dan Ilmu Tasawuf.
Mengapa? Karena dalam surat surat RA Kartini yang notabene sudah diedit dan dalam pengawasan Abendanon yang notabene merupakan aparat pemerintah kolonial Belanda plus Orientalis itu, dalam surat surat Kartini beliau sama sekali tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat. Alhamdullilah, Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, tergerak menuliskan kisah ini.
Takdir, menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.
Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat.
Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.
Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan kalbu ku,” ujar Kartini.
Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Dialog berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Dalam pertemuan itu RA Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena menurutnya  tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya.  Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an.  Mbah Sholeh Darat melanggar larangan ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkan kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah  dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang.  Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:
Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya.  Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya,  sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.”
{inilah dasar dari buku “Habis gelap terbitlah terang” bukan dari sekumpulan surat menyurat beliau,.. sejarah telah di simpangkan, (penulis red)}.
Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:
Orang-orang beriman dibimbing Alloh dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqoroh: 257).
Dalam banyak suratnya kepada Abendanon,  Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyurat 
Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Mbah Kyai Sholeh Darat keburu wafat.
Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; 
Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.
Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;
Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
(Berbagai sumber)
Kyai Sholeh Darat Semarang adalah guru para ulama besar di indonesia diantaranya: KH. A.Dahlan (pendiri muhamadiyah) KH. Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama NU)

Sabtu, 20 April 2019

KISAH RADEN AJENG KARTINI

Presiden Soekarno mengeluarkan Kepres RI No. 198 Tahun 1964 yang menetapkan bahwa Raden Ajeng Kartini adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional, ketetapan itu dikeluarkan pada 2 Mei 1964.

RA Kartini – Siapa yang tidak kenal Biografi RA Kartini, salah satu pahlawan wanita Indonesia yang rela berjuang demi rakyat saat masa penjajahan. Beliau dikenang sebagai wanita terdidik yang memperjuangkan emansipasi wanita Indonesia. Biografi RA Kartini sendiri sangatlah patut untuk dikenang. Mulai dari beliau kecil hingga wafat.
Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau yang lebih dikenal dengan nama RA Kartini memiliki harapan atas kesamaan gender pada waktu itu. Karena dahulu, wanita tidak dihargai sehingga tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Dimana wanita hanya ditugaskan untuk mengurus suami, anak dan memasak di rumah.
Dengan kegigihannya, RA Kartini berjuang agar wanita tidak ditindas dan bisa sejajar dengan pria. Untuk mengenang jasa beliau, berikut biografi RA Kartini yang dapat kita teladani.

Kelahiran RA Kartini


Biografi RA Kartini tentunya dimulai dari kelahiran beliau. RA Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di kota Jepara. Dimana hari lahir inilah yang diperingati oleh masyarakat Indonesia sebagai hari Kartini. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati jasa beliau karena dengan gigih 

Keluarga RA Kartini

Biografi RA Kartini selanjutnya membahas keluarga beliau. Kartini merupakan putri pertama dari istri pertama Raden Adipati Ario Sosroningrat. Ayahnya merupakan putra Pangeran Arion Tjondronegoro IV. Sedangkan ibunya bukanlah istri utama dari sang Ayah meskipun posisinya sebagai istri pertama.
Ibunya bernama MA Ngasirah yang merupakan anak dari seorang Kiyai di Telukawur, Surabaya. MA Ngasirah bukanlah seorang putri keturunan bangsawan. Sedangkan pada masa kolonial Belanda, terdapat peraturan bahwa seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan.melindungi rakyat Indonesia.
Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan Jawa. Sehingga beliau mendapat gelar RA yang artinya Raden Ajeng. Kemudian setelah menikah, gelar berubah menjadi Raden Ayu.
Akhirnya ayah Kartini menikahi Raden Adjeng Woerjan yang merupakan bangsawan dari Raja Madura. Setelah pernikahannya inilah, kemudian ayah Kartini diangkat menjadi bupati Jepara tepat setelah Kartini dilahirkan.

Kehidupan RA Kartini

Kakek Kartini merupakan bupati pertama yang memberikan pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kartini sendiri merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara baik kandung maupun tiri. Sedangkan dari saudara sekandungnya, Kartini merupakan putri tertua.
Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School) hingga usia 12 tahun. Beliau belajar bahasa Belanda.
Akan tetapi, di umur 15 tahun beliau harus tinggal di rumah karena sudah dapat dipingit. Dengan kepandaiannya dalam berbahasa Belanda, beliau mulai belajar menulis surat kepada teman-teman korespondensi dari Belanda. Salah satu teman yang mendukung Kartini adalah Rosa Abendanon.
Dimulai dari belajar menulis dan sharing dengan teman-teman Belanda inilah Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa. Beliau mempelajari hal ini melalui surat kabar, majalah hingga buku-buku. Kemudian beliau mulai berusaha untuk memajukan perempuan Indonesia yang masih memiliki status sosial rendah saat itu.
Banyak buku dan majalah dari kebudayaan Eropa yang dia baca. Bahkan di usia 20 tahun, beliau sudah membaca karya-karya yang berbahasa Belanda. Sehingga beliau punya pengetahuan yang luas tentang ilmu pengetahuan serta kebudayaan.
Selanjutnya, Kartini mulai memperhatikan masalah emansipasi wanita dengan membandingkan wanita Eropa dengan wanita Indonesia. Dan baginya seorang wanita harus memperoleh persamaan, kebebasan dan otonomi serta kesetaraan hukum.

Pernikahan Hingga Wafatnya RA Kartini


KEHIDUPAN PERNIKAHAN R.A KARTINI

Kartini adalah istri Bupati Rembang, Djojoadhiningrat, yang meninggal dunia pada 17 September 1904, beberapa hari setelah melahirkan anak tunggalnya. Ketika perempuan muda yang baru berumur 25 tahun itu dimakamkan di pekarangan pasanggrahan suaminya di Bulu--tak jauh di luar kota kecil Rembang--mungkin tidak ada orang yang mengira bahwa ia akan berpengaruh banyak pada perkembangan perjuangan untuk memajukan perempuan dalam masyarakat Indonesia.
Pemikiran-pemikiran almarhumah terekam dalam beberapa surat yang ditulisnya kepada para sahabat Belanda-nya. Pada waktu itu surat-surat Kartini belum diketahui oleh orang banyak, selain oleh para sahabat yang menerima surat-suratnya serta lingkungan kecil keluarganya.
Menurut sejarawan Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja (1997), surat-surat Kartini pertama kali diterbitkan pada 1911 di Semarang, Surabaya, dan Den Haag atas prakarsa Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, Mr. J.H. Abendanon.
Kumpulan surat-surat itu diberi judul Door Duisternis tot Licht(DDTL): Gedachten Over en Voor Het Javaansche Volk van Raden Ajeng Kartini, dan diterbitkan oleh G.C.T. van Dorp & Co. Karena diterbitkan dalam bahasa Belanda, hanya kalangan priyayi dan orang Belanda yang membacanya.
Seiring dengan tumbuhnya industri penerbitan, Balai Pustaka mengambil inisiatif untuk menerbitkan ke dalam bahasa Melayu. Berkembang majunya pergerakan perempuan sekitar 1920-an, turut menentukan tiras penjualan DDTL, yang melonjak tinggi.
Dalam bahasa Melayu, DDTL diterjemahkan oleh Armijn Pane menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Terbitan yang kedua ini lebih tipis dari yang pertama, karena Armijn Pane melakukan banyak pemotongan terhadap pikiran-pikiran Kartini yang dinyatakan berulang-ulang dalam beberapa surat (Soebadio & Sadli, Kartini: Pribadi Mandiri, 1990).
POLIGAMI 
Poligami, yang mungkinkan seorang laki-laki secara sah dapat memiliki istri lebih dari seorang, merupakan salah satu hasil penilaian tertentu ihwal hubungan antara kaum lelaki dan perempuan, khususnya dalam lembaga pernikahan. Dalam lingkungan kehidupan bangsawan Jawa, tempat Kartini hidup, praktik poligami merupakan hal yang biasa.
Kebiasaan dan adat-istiadat yang hidup di kalangan masyarakat -khususnya di kalangan priyayi Jawa yang berkedudukan tinggi- memang menempatkan kedudukan perempuan tidak sama dengan kaum laki-laki. Perempuan tidak sepantasnya mengerjakan hal-hal yang dikerjakan oleh lelaki. Kedudukan yang dianggap cocok untuk perempuan adalah sebagai pemelihara kehidupan rumah tangga.
Seorang lelaki Jawa dididik secara terpisah dan memiliki kesempatan yang jauh lebih besar dan lebih bebas. Dalam rangka itu, maka seorang lelaki Jawa melihat seorang perempuan Jawa tidak bisa lebih daripada melihatnya dalam hubungan sebuah keluarga, atau keluarga-keluarga dengan seorang lelaki sebagai kepalanya; tepatnya dalam hubungan perkawinan.
Perempuan hanya berharga apabila ia dihubungkan dengan dunia perkawinan. Dan perkawinan itu sendiri sering kali merupakan puncak kesengsaraan kaum perempuan, karena meskipun menjadi istri sah dari suaminya, ia bukan satu-satunya istri, melainkan salah satu istri di samping istri-istri yang lain.
Kartini menorehkan kenyataan yang timpang dan tidak adil ini dengan kegeraman.

... saya akan menyinggung kaum lelaki dalam sifat mereka yang selalu mementingkan diri sendiri, egoistis. Celakalah mereka itu, ... yang menganggap egoisme lelaki semacam ini sebagai sesuatu yang sah dan adil!

Perempuan yang lahir pada 21 April 1879 ini mengemukakan persoalan poligami sebagai pemberontakan. Ia mengetahui bahwa adat-istiadat semacam ini, apabila diberi toleransi, akan memperanakkan jenis ketidakadilan yang lain, seperti kawin paksa, berbagai batasan yang amat menyakitkan hati tentang hak perceraian, perkawinan anak-anak perempuan di bawah umur, dan penghormatan martabat seorang perempuan dalam keluarga dan masyarakat.
Kartini tidak membesar-besarkan soal poligami ini, ia tidak berkhayal. Ia sendiri, dalam keluarganya, mengalami kepedihan yang diakibatkan oleh musuh besarnya yang utama itu.
Ibu kandung Kartini bukan raden ayu. Sekalipun ia istri sah dari Bupati Sostroningrat, ibu kandung Kartini itu tidak berhak tinggal di rumah utama Kabupaten.
Ngasirah melahirkan delapan orang anak, lima di antaranya lelaki. Ia mempunyai tiga orang anak perempuan. Sekalipun Kartini tidak pernah mengungkapkan secara terbuka penderitaan yang dialami ibu kandungnya, dapat dibayangkan betapa perasaannya melihat keanehan kehidupan di Kabupaten.
Ngasirah tetap dalam martabatnya selaku perempuan, tetap harus merangkak-rangkak dan menunduk-nunduk karena ia adalah anak dari kalangan jelata. Sedangkan anak-anaknya, karena mereka merupakan benih dari seorang bangsawan, dihormati selaku para bangsawan. Oleh karena itu, Ngasirah tidak dianggap sebagai seorang ibu, melainkan sebagai seorang pembantu atau sekadar seseorang yang telah melahirkan.
Kartini dengan lirih menulis, "... saya telah melihat neraka dari jarak dekat-malahan saya berada di dalamnya-... Saya telah menyaksikan penderitaan, dan merasakan sendiri kesengsaraan ibu saya sendiri ... karena saya adalah anaknya."
Pengalaman lain tentang poligami terjadi pada adiknya sendiri, Kardinah. Kardinah menikah dengan patih dari Pemalang, yang sudah beristri dan mempunyai enam orang anak. Perkawinan ini dilakukan karena paksaan kedua orang tuanya. Kartini sendiri dengan semangat menyala-nyala menuliskan pendapatnya perihal perkawinan dan poligami.
Dalam salah satu suratnya kepada seorang sahabat, Stella, ia menulis: "Saya tidak akan, sekali-kali tidak akan jatuh cinta. Karena mencintai seseorang, menurut hemat saya, pertama-tama harus ada rasa hormat. Dan saya tidak bisa menghormati seorang pemuda Jawa. Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah, yang apabila sudah bosan kepada istri dan anak-anaknya, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya secara sah ..."
Kepada kawan penanya yang lain, Nyonya Abendanon-Mandri, Kartini juga melancarkan serangannya yang sengit ke arah poligami, dengan menyuarakan protes:

Bukankah hal ihwal itu merupakan perkosaan terhadap kodrat alam, apabila perempuan harus tinggal secara damai dengan madunya? Sesungguhnyalah, anak bangsa itu sendiri, kaum perempuan harus memperdengarkan suaranya. Masih akan adakah orang dengan tenang mengatakan bahwa "keadaan mereka baik-baik saja", kalau mereka melihat dan mengetahui semuanya yang telah kami lihat dan ketahui sendiri? Saya pernah mengutip sesuatu dari pidato Prof. Max Muller, seorang ahli bahasa-bahasa timur yang ulung dari Jerman, yang juga ahli sejarah dan lain-lain. Bunyinya kurang lebih: Poligami seperti yang dijalankan bangsa-bangsa Timur adalah suatu kebijakan bagi kaum perempuan dan gadis-gadis, yang di dalam negerinya tidak dapat hidup tanpa suami atau pelindung. Marx Muller sudah memperlihatkan kebajikan adat itu kepadanya. Orang berusaha membohongi kami, bahwa tidak kawin itu bukan hanya aib, melainkan juga dosa yang besar ...

Perlawanan Kartini terhadap praktik poligami di kalangan bangsawan Jawa pada akhirnya membawa ia pada kesadaran, bahwa ia sendiri sudah selalu hidup dalam bayang-bayang musuh besar yang dilawannya. Kartini sadar, bahwa ia sedang berhadapan dengan lawan yang amat bengis dan kuat, yang didukung adat-istiadat, bahkan juga dibenarkan oleh ajaran-ajaran agama yang ada pada masa itu. Sudah sewajarnya apabila Kartini juga merasa waswas dan takut:

Saya putus asa dengan rasa pedih-perih saya puntir-puntir tangan saya jadi satu. Sebagai manusia, saya merasa seorang diri tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu, dan yang-aduh, alangkah kejamnya! Dilindungi oleh ajaran Islam dan dihidupi oleh kebodohan perempuan: korbannya! Aduh! Saya pikir mungkin pada suatu ketika nasib menimpakan kepada saya suatu siksaan yang kejam, yang bernama poligami itu! "Saya tidak mau!" mulutku menjerit, hatiku menggema jeritan itu ribuan kali ...

Dugaan Kartini tak luput. Tiga tahun kemudian ia harus menikah dengan seseorang yang bukan pilihannya sendiri. Lagi pula laki-laki itu sudah memiliki tiga istri dan tujuh orang anak. Anak yang tertua hanya berbeda delapan tahun dengan Kartini.
Pernikahan dengan bupati Rembang, Djojoadhiningrat, tidak dapat dielakkan, dan itu berlangsung pada 8 November 1903. Mengenai pertunangan nya, Kartini merasakan itu sebagai kehinaan yang memalukan. Mahkota di kepalanya telah direnggut dan jatuh berantakan di pasir. Kebanggaan dan kebesaran dirinya telah sirna.
Kartini merasa bahwa dirinya kini hanyalah salah seorang dari ribuan korban perempuan Jawa yang hendak ditolongnya. Malah ia telah menambahkan jumlah bilangan korban itu. Perlawanan Kartini menemui jalan buntu, bahkan menelan korban baru: dirinya sendiri.
Rintihan Kartini yang bernada tragis disuratkan juga kepada Nyonya Abendanon, kurang lebih sebulan sebelum hari pernikahan. Ia merasa telah mati dengan sia-sia. Secara fisik, moral telah patah, tak mempunyai kekuatan apa-apa lagi.
Ia merasa gagal dalam perjuangannya, tidak suatu pun hasil yang dicapainya. Semuanya, segala cita-cita, telah runtuh oleh egoisme orang lain. Sayap-sayapnya telah putus, hatinya pecah berkeping-keping.
Kartini harus mengangkat sendiri beban penderitaan itu, dan ia merasa tidak mampu menanggungnya. Terlalu berat.
Pasca pernikahan, ia segera dibawa ke Rembang, dan menjadi raden ayu di Kabupaten. Kartini tidak memberontak lagi, tak menjerit, kegelisahan nya terhadap nasib perempuan Jawa. Surat-surat yang ditulisnya dari Rembang bukan lagi surat-surat protes tentang kedudukan perempuan, dan bukan perihal poligami.
Nampaknya ia berusaha berdamai dengan keadaannya yang anyar. Tanpa protes.
Kartini memang tidak berhak lagi mengeluhkan keputusan yang telah diambilnya-meskipun dengan berat terpaksa, surat-surat Kartini pada periode Rembang adalah surat-surat yang menyatakan "kebahagiaan"-nya di tengah suami, ketiga istri selir, dan tujuh orang anak-anaknya. Akan tetapi, hal ihwal itu juga tidak berlangsung lama. "Kebahagiaan" itu dengan sendirinya fana, ketika ia mati muda saat melahirkan.
Arkian, kisah hidup Kartini bukan hanya riwayat anak perempuan putri bupati Jepara pada pergantian abad ke-19 dan ke-20, melainkan juga riwayat seorang intelektual yang mewakili sebuah perubahan zaman. Di sanalah letak seluruh makna kehidupan Kartini. Pergulatan batinnya mencerminkan pergumulan sebuah bangsa. Ia memang kalah, tetapi bukan tanpa perlawanan.
Menurut Th. Sumartana dalam Tuhan & Agama dalam Pergulatan Batin Kartini(2013), kekalahan Kartini adalah satu episode yang harus diakui dengan jujur dan terbuka. Kekalahan itu juga merupakan bagian integral sejarah bangsa Indonesia.
Sejarah tidak ditulis dengan maksud menipu. Sejarah bukan dongeng yang berupa ilusi untuk melayani naluri megalomania atau narsisme. Di situlah justru terletak hikmah sebuah paradoks dalam sejarah.
Kekalahan Kartini bisa bermakna bahwa sejarah bangsa kita benar-benar merupakan sejarah manusia yang mengenal kemenangan dan kekalahan, silih berganti. Dan barangkali, justru karena itulah Kartini bisa menjadi sumber ilham yang mengabadi bagi khalayak.


Suami Kartini memberikan pengertian mengenai keinginan Kartini. Bahkan beliau membebaskan serta mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang perkantoran Rembang. Yang kini menjadi gedung pramuka.
Dari pernikahannya ini, RA Kartini dikaruniai seorang putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada tanggal 13 September 1904. Namun empat hari setelah melahirkan, yaitu usia 25 tahun, Kartini meninggal. Beliau dimakamkan di Desa Bulu, Rembang.
Setelah Kartini wafat, Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia-Belanda yaitu Mr. J. H. Abendanon mengumpulkan surat-surat yang dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Setelah dikumpulkan, surat-surat ini kemudian dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Licht yang berarti Habis Gelap Terbitlah Terang.
Dengan terbitnya surat – surat Kartini ini menarik perhatian masyarakat Belanda. Pemikiran Kartini merubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan Jawa. Tidak hanya itu, beliau juga menjadi inspirasi bagi tokoh kebangkitan nasional Indonesia. hingga dibuatkannya lagu Ibu Kita Kartini oleh W.R Soepratman.

5 Teladan Dari RA Kartini


1. Sederhana

Raden Mas Adipati Sosroningrat selaku ayah RA Kartini merupakan bupati Jepara saat itu. Meskipun berasal dari kalangan bangsawan, namun RA Kartini tidak berpangku tangan dan diam saja di rumah. Beliau bergaul dan berteman dengan siapapun, sehingga beliau dikenal sebagai perempuan yang merakyat.
RA Kartini juga sangat menolak keras perilaku para bangsawan lain, yang mana mereka menggunakan derajat dan status untuk menindas kaum di bawahnya. Hal inilah yang membuat beliau sangat disenangi oleh rakyat.
RA Kartini memiliki sifat kesederhanan yang patut diacungi jempol. Beliau tidak pernah berfoya-foya maupun bermewah-mewahan. Bahkan ketika menikah, beliau tidak mengenakan baju mewah pernikahan dan tidak menggelar pesta.

2. Berani Dan Optimis

Pada zaman dahulu, RA Kartini pernah ditentang oleh masyarakat sekitar karena memiliki pandangan yang berbeda mengenai perempuan. Kartini menganggap bahwa perempuan harus keluar rumah, belajar dan mengejar cita – cita. Bukan hanya berada di dalam rumah sehingga menutup kesempatan bagi perempuan untuk melihat dunia. Atau yang disebut dengan budaya pingit.
Hal itu membuat beliau berani membuka sebuah tempat belajar khusus untuk mendidik perempuan dan anak-anak. Tidak hanya itu, beliau sangat optimis bahwa tindakannya akan memberikan dampak yang besar di masa depan

Dan terbukti hingga kini, bahwa beliau masih selalu dikenang dengan karya-karya terbaik yang pernah diberikan untuk Indonesia khususnya perempuan Indonesia.

3. Mandiri / Independen

Teladan RA Kartini yang bisa kita tiru adalah sifat mandiri beliau. Beliau dapat mencari cara agar beliau bisa berpengaruh bagi sekitarnya. Padahal saat itu beliau masih dalam keadaan dipingit.
Meskipun tidak disekolahkan tinggi-tinggi, beliau tetap belajar dengan caranya sendiri. Yaitu dengan menulis surat kepada para sahabat penanya. Serta belajar pengalaman dari para sahabatnya. Alhasil, beliau dapat membangun sekolah Perempuan Pertama di Jawa.

4. Cerdas Dan Berwawasan Luas

Sejak berkirim surat dengan sahabat penanya yang berada di luar negeri, wawasannya menjadi terbuka. Beliau semakin berfikir bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki – laki. Baik dalam hal pendidikan, bekerja hingga berpendapat.
Tidak hanya belajar melalui teman penanya, beliau juga belajar dari semua hal yang dialaminya. Kemudian dengan jiwa pendidik nya itu lah beliau mengajarkan kepada anak-anak didiknya. Mulai dari baca tulis, memasak, melukis, menjahit dan masih banyak lagi. Semua beliau tularkan kepada anak-anak dan perempuan Indonesia.

5. Inspiratif

Semua yang dilakukan oleh RA Kartini menunjukkan keihklasan dan kesungguhan. Siapa yang akan menyangka jika tindakan yang dilakukannya di masa lalu akan dapat menginspirasi kita hingga kini.
Beliau menularkan pandangan baru kepada orang sekitarnya sehingga mampu membuat orang lain melakukan sesuatu. Semua hal positif yang dilakukannya sangat berdampak baik kepada kita sekarang.
Nah, itulah biografi RA Kartini secara lengkap beserta teladan-teladan yang bisa kita ikuti. Semoga dengan mengetahui biografi RA Kartini, kita menjadi generasi penerus yang memiliki sifat-sifat RA Kartini.
Sampai saat ini kita tahu bahwa jasa RA Kartini sangatlah besar bagi Bangsa ini. Kalau RA Kartini pada jaman itu saja bisa memberikan sesuatu yang besar bagi Bangsa, apalagi kita yang hidup dengan berbagai kemudahan serta teknologi canggih. Seharusnya kita juga mampu memberikan sesuatu yang besar bagi Bangsa ini.




Minggu, 14 April 2019

DPPPAPPKB | DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PERLINDUNGAN ANAK PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA

DPPPAPPKB ( Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana . Berlokasi di jl ki ageng gribig no 5 Malang.
Visi Dinas Pemberdayaan Perempuan kota Malang
Menjadikan kota Malang sebagai kota bermartabat

Misi Dinas Pemberdayaa Perempuan kota Malang
1. Meningkatkan kualitas, aksesibilitas dan Pemerataan pelayanan pendidikan dan kesehatan

Tujuan
1. Terwujudnya peningkatan kualitas, aksesibilitas dan pemerataan pelayanan pendidikan
2. Terwujudnya peningkatan kualitas, aksesibilitas dan pemerataan pelayanan kesehatan

2. Meningkatkan Produktivitas dan daya saing daerah

Tujuan

1. Terwujudnya peningkatan perekonomian daerah melalui penguatan sektor koperasi dan usaha kecil menengah , perindustrian dan perdagangan , serta pariwisata daerah.
2. Terwujudnya perluasan kesempatan kerja
3. Terwujudnya ketersediaan dan akses pangan

3. Meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan terhadap masyarakat rentan ,pengarusutamaan gender serta kerukunan sosial.

Tujuan
1. Terwujudnya peningkatan perlindungan terhadap masyarakat rentan dan pengentasan kemiskinan
2. Terwujudnya peningkatan kualitas kehidupan dan peran serta perempuan , serta terjaminnya pengarusuatamaan gender .
3. Terwujudnya peningkatan kualitas kerukunan sosial masyarakat

4. Meningkatnya pembangunan infrastruktur dan daya dukung kota yang terpadu dan berkelanjutan, tertib penataan ruang serta berwawasan lingkungan 

Tujuan
1. Terwujudnya peningkatan kualitas infrastruktur dan daya dukung kota
2. Terwujudnya peningkatan  tertib pemanfaatan ruang kota sesuai peruntukannya.

5. Mewujudkan pelaksanaan reformasi birokrasi dan kualitas pelayanan publik yang profesional akuntabel dan berorentasi pada kepuasan masyarakat

Tujuan
1. Terwujudnya transparansi dan akuntabilitas kinerja pemerintah
2. Terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik yang profesional akuntabel dan berorientasi pada kepuasan masyarakat



Selasa, 02 April 2019

PENYULUHAN KB DI RW 05

Penyuluhan alat kontrasepsi KB ( keluarga Berencana ) oleh PPKBD ( Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa / kelurahan ) oleh bu Muharnis